Thursday, October 18, 2012

Pengembangan Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar

Globalisasi merupakan hal yang rumit karena membuat manusia menjadi lebih mudah dalam menjalankan semua aktivitas kehidupannya, namun terkadang menjadi bumerang bagi diri manusia itu sendiri. Salah satu contoh penyediaan internet yang semakin menyebar luas misalnya, dapat membuat orang mengetahui segala sesuatu yang terjadi di wilayah, negara bahkan benua di belahan bumi lain dalam hitungan detik melalui internet. Dengan demikian berkomunikasi dengan orang lain, suku bangsa lain menjadi sangat mudah karena tersedianya internet yang dapat menghubungkan kita tanpa kendala jarak dan bahasa yang berbeda. Namun itu semua bisa berdampak negatif apabila manusia itu sendiri tidak dapat memanfaatkan internet dengan sebaik mungkin. Dalam hal ini banyak manusia yang memanfaatkan dunia maya untuk mencari keuntungan namun tidak memikirkan lebih jauh dampak negatif dari apa yang mereka buat ke pengguna internet itu sendiri. Tidak memikirkan betapa rusaknya sebuah nilai moralitas suatu bangsa dari apa yang mereka lalukan. Menyebarkan virus pornografi, penipuan di dunia maya yang semakin marak terjadi, dan penggunaan yang menyimpang dari sebuah slogan “internet sehat” menjadi salah satu cerminan dari dampak negatif sebuah arus globalisasi. Namun globalisasi yang ada di hadapan kita merupakan sebuah fakta yang tidak bisa diingkari lagi keberadaannya. Revolusi teknologi, transportasi, informasi dan komunikasi menjadikan dunia ini tanpa batas. Globalisasi merupakan sebuah kompetisi dimana yang keluar sebagai pemenang adalah yang terbaik dari sisi pengetahuan, teknologi, jaringan, kualitas produk, integritas, akuntabilitas dan pelayanan. Kompetisi, integrasi dan kerja sama dalam hal ini adalah dampak positif dari globalisasi. Namun lahirnya generasi yang instan (langsung bisa menikmati keinginan tanpa proses perjuangan dan kerja keras), rendahnya nilai moral, dan sifat konsumerisme yang semakin dirasakan masyarakat Indonesia adalah sebagian dampak negatif dari sebuah globalisasi. Televisi, internet, koran, radio, handphone, dan lain-lain adalah media informasi dan komunikasi yang berjalan dengan cepat, menggulung nilai-nilai tradisional yang selama ini masih dipegang kuat bagi sebagian masyarakat. Sesuatu yang dulu dianggap tabu, sekarang menjadi biasa-biasa saja. Cara berpakaian, berinteraksi dengan lawan jenis, menikmati hiburan di tempat-tempat khusus menjadi trend siswa muda sekarang Semua menjadi cerminan betapa rusaknya sebuah moralitas suatu bangsa terutama bangsa Indonesia.
Pada akhirnya karakter suatu bangsa berubah menjadi rapuh, mudah diterjang ombak, terjerumus kedalam trend budaya yang bisa dibilang menawarkan kenikmatan dunia sesaat tanpa memikirkan dampak atau akibat yang akan mereka terima nantinya. Maka tidak jarang sekarang ini banyak pelajar yang tidak bersemangat untuk menjadi sang inovator, berkreasi dan berkompetisi dalam pendidikan. Di sinilah pentingnya internalisasi pendidikan karakter di sekolah secara intensif dengan mengutamakan keteladanan, kearifan dan kebersamaan baik secara internal maupun eksternal. Sekolah merupakan sebuah fasilitas atau wadah dimana kita bisa mendapatkan segala informasi baik yang bersifat pengetahuan maupun hal-hal umum yang berguna bagi kehidupan seseorang. Namun sangat disayangkan, pendidikan karakter di sekolah banyak dilupakan. Mereka terlalu fokus pada target ujian nasional dan kompetensi akademis lainnya. Maka terbentuklah insan yang cerdas secara intelektual namun tidak dalam hal spiritual dan emosial. Tidak sedikit manusia yang pintar dalam hal akademis menjadi hancur saat mereka terjun langsung ke dunia masyarakat. Ini semua disebabkan oleh kurangnya kecerdasan emosial dan spiritual yang mereka miliki. Mereka menjadi manusia yang egois serta jauh dari Tuhan mereka. Lalu siapakah yang harus disalahkan?, jelas sistem pendidikan yang harus bertanggung jawab atas semua kemerosotan ini. Kurangnya penanaman nilai-nilai karakter setiap pelajaran di kelas membuat siswa tidak memahami tujuan pembelajaran yang sebenarnya. Padahal sudah jelas bahwa tujuan pendidikan menurut pasal I UU SISDIKNAS tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi, siswa untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Namun yang ada sekolah hanya menekankan pada aspek kecerdasan intelektual saja tanpa memperhatikan bakat, kepribadian dan akhlak yang harus ditanamkan sejak dini agar generasi KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) berkurang, perilaku seks menyimpang dikalangan remaja dapat ditekan dan lain sebagainya sehingga bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dengan generasi yang cemerlang, bisa bersaing dengan negara-negara tetangga lainnya. Masalah diatas jelas ditemukan oleh peneliti di lingkungan sekolah. Misalnya di salah satu sekolah negeri di pinggiran Jakarta Pusat tepatnya di daerah Mangga Besar, siswa sekolah dasar (SD) kelas dua berani menyuruh gurunya yang pada saat itu sedang membawa laptop untuk membuka situs video porno. Lalu ditemukan bahwa siswa kelas dua di sana sudah berani meminta dengan paksa uang jajan siswa kelas satu dimana setiap siswa wajib memberikan uang jajannya sebesar Rp. 500,- per siswa. Setelah ditanyakan ke beberapa pelaku siswa, ternyata ada salah satu siswa yang menyuruh teman-temannya untuk melakukan hal tersebut. Kondisi diatas sangat miris sekali, apalagi latar belakang pendidikan sekolah tersebut diolah oleh pemerintah. Masalah tersebut peneliti temukan juga di salah satu sekolah Islam terkenal di Jakarta Selatan. Latar belakang pendidikan agama Islam di sana sangat bagus. Namun apa yang peneliti temukan saat menjadi salah satu mentor siswa kelas V sekolah tersebut pada acara sains camp di daerah puncak, kata-kata yang keluar dari mulut mereka tidak selayaknya sekolah Islam yang mengajarkan mereka bagaimana bersikap sopan santun dengan orang lain. Bahkan sesama temannya sendiri saja mereka cenderung memperlihatkan ego mereka di depan teman-teman yang lain. Tidak sedikit siswa yang membangga-banggakan kekayaan mereka di depan teman-temannya. Lalu kemana pendidikan karakter yang selama ini diajarkan di kelas?.
Setelah peneliti telurusi kegiatan belajar mereka, lagi-lagi sekolah hanya mengutamakan kemampuan kognitif siswa. Mereka dituntut untuk dapat menguasai semua mata pelajaran dengan cepat. Bahkan kebanyakan guru yang peneliti tanyakan mereka beralasan bahwa menerapkan pendidikan karakter pada siswa butuh waktu yang lama, sedangkan waktu di sekolah hanya sedikit. Mereka menyalahkan orangtua mereka yang lebih banyak mempunyai waktu bersama siswa-siswi mereka. Padahal seorang guru merupakan panutan penting bagi siswa di sekolah. Walaupun waktu di sekolah terbatas, namun mereka sering membawa apa yang mereka tahu dari seorang guru ke dalam kehidupan bermain di luar jam sekolah. (Hasil wawancara terlampir) Berdasarkan gambaran di atas, jelas bahwa masalah yang dihadapi seorang guru dalam mengajarkan dan menerapkan pendidikan karakter di sekolah adalah keterbatasan waktu. Untuk itu peneliti berusaha menjawab masalah tersebut dengan menciptakan sebuah inovasi dalam dunia pendidikan. Buku saku dengan konsep The Challenge Book ini berusaha dibuat agar pendidikan karakter di sekolah dapat tetap diterapkan namun bersifat efektif dan efesien karena tidak mengganggu pelajaran siswa di sekolah. Dalam hal ini peneliti ingin membagi nilai pendidikan karakter itu sendiri menjadi beberapa tahap. Dalam produk pertama yang akan dikembangkan sekarang ini misalnya, isi dari buku saku tersebut mengandung nilai pendidikan karakter dari sudut pandang antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, manusia dengan dirinya sendiri, serta diri sendiri dengan orang lain. Penelitian kali ini rencananya buku hanya diperuntukkan oleh siswa yang beraga muslim, dilihat dari latar belakang sekolah yang peneliti temui, semua siswa beragama muslim. Melihat kondisi siswa yang seperti itu, peneliti mencoba untuk membangun karakter seorang muslim sejak dini. Nantinya buku saku jilid pertama ini akan mengajarkan siswa untuk terbiasa tahu agama, mulai dari membiasakan shalat, mengetahui manfaat-manfaat shalat dan lain sebagainya. Namun peneliti tidak melupakan nilai pendidikan karakter yang lain. Buku saku ini juga merupakan rangkaian dari program penerapan pendidikan karakter ke siswa yang sedang di canangkan oleh peneliti. Nantinya peneliti tidak hanya berhenti sampai pada produk ini saja, tetapi peneliti akan membuat banyak inovasi untuk membentuk karakter positif siswa sejak dini. Namun untuk saat ini peneliti hanya membatasi pada sebuah produk buku saku yang diperuntukan untuk siswa sekolah dasar kelas V (lima) dengan latar belakang beraga Islam. Adapun kelebihan dari buku saku the challenge book ini, dari hal penyajian sudah menarik karena banyak terdapat gambar dan warna yang disesuaikan dengan tingkatan perkembangan siswa menurut Piaget. Lalu buku ini bukan hanya mengajarkan tentang pendidikan karakter itu apa, tapi siswa secara tidak langsung akan menerapkan pendidikan karakter itu sendiri melalui aktivitas yang tertuang dalam buku saku ini. Buku saku ini dikemas dalam bentuk permainan. Permainan disini dimaksudkan karena setelah peneliti melakukan observasi ke beberapa sekolah, ternyata sebagian besar siswa sangat suka dengan permainan, tantangan, menceritakan kegiatan mereka, dan melakukan sesuatu yang mereka anggap menyenangkan. Buku saku dengan konsep the challenge book ini sementara diperuntukan untuk siswa kelas V, karena melihat status pendidikan sekolah yang akan menjadi tujuan dari penelitian, siswa kelas V lebih aktif, dan rata-rata sudah bisa menulis serta membaca. Buku ini diperuntukan untuk siswa yang sudah pandai membaca dan menulis kerena sebagian besar aktivitas dalam buku saku ini terhadap dua hal tersebut, yaitu membaca dan menulis. Kelas V SD sudah ingin memasuki tahapan perkembangan anak lebih jauh lagi, untuk itu buku saku ini dipersiapkan bagi mereka agar dapat mengarahkan mereka ke hal-hal yang positif sehingga mereka siap menghadapi kompetisi dalam kehidupan bermasyarakat yang sebenarnya kelak.

Stefano Langone!!!!